Fenomenologi Agama : Agama Islam dan Transformasi Kesadaran
Agama Islam dan Transformasi Kesadaran
Agama Islam sebenarnya lahir sejak daluhu kala—bahkan sebelum zaman Rasullulah. Jika kita menilik sejarah kelahiran manusia—penciptaan manusia yang digambarkan Nabi Adam a.s beserta isterinya Hawa, banyak sekali ide keislaman yang tertulis di Al-Qur’an, namun tidak menyebutkan Islam secara istilah. Istilah Islam secara bahasa dan ide diperkenalkan kembali pada zaman Nabi Muhammad SAW lari ke gua Hira dengan maksud berlindung diri dari kejaran orang kafir Quraisy. Pada saat itu, Rasullulah menemui sesosok pria yang kemudian dikenal sebagai malaikat Jibril untuk membaca sebuah tulisan yang kelak menjadi surat Al-Alaq sebanyak 5 ayat.
Tawaruf, merupakan istilah untuk belajar di gua. Wahyu dari malaikat jibril dan langsung mengatakan iqra—yang artinya membaca. Membaca hal ini bukanlah bukanlah sekadar baca saja—namun membaca secara konteksnya. Banyak sekali orang yang salah mengartikan istilah iqra sebagai acara sartiliwalah—membaca Al-Qur’an sebagai konteks estetika. Kesalahan konsepsi inilah yang menjerumuskan umat Islam secara perlahan dalam segi studi Qur’an. Contoh sederhananya saja adalah makna jihad yang menjadi bias. Mereka—para manusia yang tidak paham Qur’an—seenaknya saja mengartikan jihad adalah berperang—padahal arti sesungguhnya adalah bersungguh-sungguh. Kesalahan tafsir ini bermula pada pendeskripsian jihad itu sendiri. Cerita penggambaran jihad digambarkan dengan perang dan perbudakan manusia yang memang lazim terjadi di jazirah Arab. Hobi orang arab adalah berperang karena mereka menganggap perang adalah salah satu senjata untuk menyelesaikan masalah. Umat Islam pada era modern ini mengeneralisasi konsep perang tersebut sebagai jalan surga—hadiah orang yang mati karena berjihad—dan akibatnya terjadinya blunder dan kerancuan berpikir yang fatalnya menjadi doktrin.
Gagasan Transformasi yang berdasar pada surat Ali Imran[3]: 110 yang dikutip dari Kunto Widjojo, terdapat 3 gagasan utama dalam transformasi dalam kacamata Islam. Humanisasi, Liberalisasi, dan Transendensi. Humanisasi memiliki arti memanusiakan manusia. Dalam hal ini, manusia diarahkan kembali dan sadar bahwa manusia sesungguhnya hadir untuk mengubah tatanan masyarakat di muka bumi ini. Mereka juga disadarkan bahwa mereka hanyalah semata ciptaan Tuhan dan kelak mereka akan kembali ke jazirah Tuhan mereka. Liberisasi memiliki arti pembebasan manusia untuk mengeksplorasi ciptaan Tuhan berupa eksplorasi ilmu pengetahuan, ilmu sosial, ilmu ekonomi, hingga ilmu politik yang membelunggu manusia. Kebebasan untuk mengeksplorasi ini muncul karena banyak sekali manusia yang hidup dalam hegemoni kesadaran palsu yang membuat hidup mereka menjadi monoton—ibadah ritus-ritus, melaksanakannya, makan, tidur, dan begitupun terus hingga mati. Liberalisasi ini mencegah manusia terkungkung dalam kebodohan mereka sendiri, kemiskinan, keterbelakangan, dan kezaliman. Transendensi memiliki artian bahwa manusia diarahkan untuk memiliki tujuan hidup yang lebih bermakna dan lebih bermanfaat bagi banyak orang dengan menggunakan nilai-nilai ketuhanan dalam agama masing-masing.
Manusia sejatinya lahir dalam dunia ini bukanlah untuk hidup dan bertahan hidup saja. Dalam kutipan dalam Al-Ashr, bahwa manusia sebenarnya merugi kecuali jika mereka mengerjakan kebajikan, sabar, dan kebenaran. Hal ini berarti bahwa manusia diwajibkan untuk melakukan suatu hal yang bermanfaat untuk manusia lainnya—menjadikan dirinya sebagai manusia yang berguna. Mengajarkan hal yang baik dan bermanfaat adalah satu aplikasi yang dapat dilakukan oleh manusia untuk membuat diri mereka menjadi manusia yang berguna. Jika manusia tidak melakukan hal yang bermanfaat bagi manusia lainnya, maka dalam diri mereka sudah menjadi pendusta agama—merugi hidupnya.
Pendusta Agama (Al-Ma’un) adalah sebuah hal yang merepresentasikan manusia dalam keadaan yang merugi. Bedasarkan surat Al-Ma’un, orang yang mendustakan agama antara lain adalah menghardik anak yatim, tidak mendorong diri mereka untuk memberi makan orang miskin, lalai salatnya—ibadahnya, sombong, dan enggan membantu orang lain. Jika dilihat kembali dari isi surat Al-Ma’un, hal-hal tersebut merupakan hal yang paling sering terjadi dalam tatanan manusia modern. Hal ini disebabkan oleh dorongan dalam diri manusia untuk berbuat gengsi dan egois. Mereka telah kehilangan unsur dasar manusia secara rohani—kehilangan rasa empati dan menumbuhkan sifat individualisme. Sangat jarang manusia modern menyukai model membantu semua orang—tanpa melihat status sosial, kekurangan, dan karakter mereka.
Hubungan Agama dan Negara
Sebuah Penelitian oleh Alvara Research yang meneliti tentang “Bagaimanakah Negara Harus Terbentuk ?” menemukan hasil bahwa sebagian besar orang Indonesia memilih untuk mencampurkan unsur nasionalisme dengan unsur agama—ideologi agama Islam karena bedasarkan agama mayoritas—dalam perumusan dasar negara. Kemudian disusul dengan bentuk negara yang secara murni merupakan akal buah pemikiran para tokoh nasionalis tanpa adanya campur tangan dengan urusan agama. Ada juga yang yang harus berlandaskan keagamaan untuk mendeklarasikan sebuah negara.
Fenomena Propaganda ISIS dan Kasus Nur Dhania untuk bergabung dengan ISIS
Sempat waktu lalu, terdapat suatu berita yang sangat viral dimana Nur Dahnia mengajak seluruh anggota keluarganya untuk bergabung ISIS. Dahnia berdalih dengan bergabung dengan ISIS segala sesuatu masalah hidpunya akan hilang—termasuk masalah keluarga dan mendapatkan kehidupan yang baik. Ternyat hal tersebut tidaklah terjadi. Justru yang terjadi Nur Dahnia beserta keluarganya terjebak dalam sistem human trafficking—perdagangan manusia dan prostitusi serta memaksa untuk ikut berperang secara memaksa.
ISIS sebenarnya adalah boneka propaganda—entah Amerika atau Iran-Syria yang membuatnya. Mereka mempromosikan banyak sekali video palsu yang menakut-nakuti banyak orang—termasuk orang Islam juga—untuk tenar, lebih tepatnya terkenal. Video-video itu berisi tentang orang yang dipenggal atau dibunuh depan kamera dan menyebutkan visi dan misi omong kosong mereka. ISIS juga adalah sebuah gerbang untuk perbudakan dan dipaksa untuk berperang. Hal ini terlihat karena ISIS hanya menggunakan lapisan luar dari definisi jihad—melihat penggambaran perang sebagai jihad mereka. Mereka berpikir bahwa jihad itua adalah jalan surga mereka—tidak peduli membunuh siapapun.
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusPosting Komentar