Bahasa Indonesia : Bahasa, Peradaban Manusia, dan Identitas
Manusia dan Bahasa
Yuval Noah Harari (Sapiens, A Brief History of Humankind, h.23): 70 ribu tahun yang lalu manusia mengalami revolusi kognitif (Latin: ‘cognoscere’ –kemampuan untuk mengenali/mengetahui).
Ini berarti bahwa manusia sudah mampu mengidentifikasi. Cara manusia untuk mengidentifikasi realitas apa pun yang ia hadapi dalam dunianya (Jerman: Lebenswelt) adalah melalui bahasa.
Realitas Manusia adalah Realitas Bahasa
Martin Heidegger: manusia membentuk realitasnya dengan bahasa (“language is the house of [b]eings”) –tanpa bahasa manusia tidak akan bisa melakukan apa-apa.
Tulisan sebagai Sendi Peradaban
Harari: Manusia –homo sapiens [sapiens] –adalah spesies terkuat (Harari, Homo Deus, A Brief History of Tomorrow, h.117). Kekuatan utama manusia adalah saat ia bisa membahasakan realitasnya –terutama dalam bentuk tulisan (ibid., h.190).
Keunggulan Manusia Dibandingkan dengan Spesies Lain
Lewat biologi, kita tahu bahwa baik manusia (human animals) maupun hewan (non-human animals), pada dasarnya memiliki kemampuan untuk melakukan penginderaan.
Namun demikian, HANYA manusia yang sanggup melanjutkan tahapan pengindraan ke tahapan selanjutnya: tahapan persepsi yang menjadi dasar dari bahasa verbal apapun, yang dapat dikategorikan sebagai kesadaran.
Kebudayaan sebagai Kumpulan Persepsi
Harari: manusia sanggup membangun budaya –kebudayaan (naluri artifisial, yang memungkinkan jutaan orang asing bekerja sama yang dibangun atas dasar persepsi); Harari, loc.cit., h.181).
Harari: Tiga Persepsi Utama dalam Kebudayaan
Tiga titik tumpu kebudayaan (Harari, ibid.264):
- Alat tukar (uang-absolut global),
- Gagasan tentang realitas yang melampaui realitas (religiositas-dominan regional), dan
- Sistem pemerintahan yang kompleks (imperium/negara-bangsa-dominan nasional) hanya mungkin terjadi oleh bahasa.
Peradaban sebagai Proses Menjadi Manusia ( Paideia dan Artes Liberales )
Proses Pe-manusia-an
Dalam kerangka “kontrak sosial” John Locke dan dalam kerangka “manusia sebagai ancaman terhadap manusia lain” Thomas Hobbes sekalipun, manusia mengalami proses yang disebut oleh Norbert Elias: “pemberadaban” (Inggris –Brit.: civilising). Artinya: manusia akan menjadi semakin beradab –lebih ramah terhadap sesamanya.
Proses Pemanusiaan ( Paideia )
Bartolomeus Samho: pelajaran menjadi manusia beradab (paideia-studia humanitatis) dalam sejarahnya berkembang ke arah membentuk manusia yang terbebas dari keterkungkungannya lewat “keterampilan” (Latin: ars, Yunani: techne) yang membebaskan –artes liberales (Samho, “Humanisme Yunani Klasik dan Abad Pertengahan”, hh.17-43).
Kungkungan Hidup Manusia
Harari menyatakan bahwa kungkungan “masa lalu” manusia ada tiga
- kelaparan,
- penyakit dan
- perang (Harari, Homo Deus…, loc.cit.,h.2).
Pada dasarnya manusia di abad ke-21 ini sudah mampu mengatasi ketiganya lewat bantuan teknologi. Teknologi yang berhasil mengatasi ketiga “penjara” manusia ini dibangun lewat bahasa.
Kekuatan Bahasa
J.L. Austin: bahasa memiliki kekuatan untuk merealisasikan –atau yang diistilahkan sebagai “performatif” (Austin, How to Do Things with Words, hh.6-7); Patrick J. Hurley: kekuatan bahasa ada pada pernyataan –statement– karena dapat diperiksa benar/salahnya –truth value.
Referensi dan Predikasi
John R. Searle: kekuatan bahasa manusia didasari dua potensi dasar –bahwa kata-kata yang dibangun dapat mengacu pada sesuatu (“referensi”) dan bahwa acuan yang diajukan dapat dijelaskan lebih lanjut (kemungkinan untuk “dipredikasi”) –Searle, Speech Acts, An Essay in the Philosophy of Language, h.h.72-73,97.
Manusia sebagai Sumber Bahasa
W. N. Francis: alih-alih kata memiliki makna –justru manusia yang memaknai kata (Francis, The English Language, An Introduction Background for Writing, h.119). David Crystal: bahasa hanya ada di otak, mulut, telinga, tangan dan mata para penggunanya (Crystal, English as a Global Language, h.7).
Artinya, baik Francis dan Crystal sepakat bahwa bahasa yang tergantung pada manusia dan BUKAN manusia yang tergantung pada bahasa.
Proses “pencanggihan” manusia ini lewat institusi ini (Aulus Gellius: eruditionem insti[t]ionemque –dalam Samho, loc.cit.,h.19) kemudian berkembang di Abad Pertengahan menjadi proses
- Trivium (BAHASA, retorika, logika) dan
- Quadrivium ([aritmatika], geometri, astronomi, musik).
Dalam perkembangan selanjutnya, salah satu keharusan manusia paripurna (kalos kagathos) adalah kemampuannya menulis (ars dictaminis) –Samho, ibid.,h.26)
Bahasa dan Realitas
Bahasa dan Identitas (Realitas Identitas dari Perspektif Bahasa )
Gagasan-Gagasan tentang Identitas: Amartya Sen dan Harari
Amartya Sen dalam Identity and Violence: identitas sudah selalu bersifat jamak (plural).
Harari dalam Sapiens…: identitas adalah sebuah bentuk strategi yang diperlukan manusia dalam berhadapan dengan ganasnya proses evolusi.
Ricoeur dan Candlish
Stewart Candlish, “Mind, Brain and Identity”, h.506: identitas lahir dari klasifikasi yang diberikan terhadap orang yang mengusungnya, dan bukan dari diri sendiri. Seturut Paul Ricoeur, dalam L’Idéologie et l’Utopie, h.19: memiliki identitas sebagai sebuah ideologi itu layaknya meminjam barang yang dipinjam dari yang lain yang juga merupakan barang pinjaman.
Seturut Max Tegmark dalam Life 3.0, Being Human in the Age of Artificial Intelligence dengan gagasannya tentang realitas sebagai fenomen[a] yang tersembul -“emergent phenomenon”: kesadaran tentang identitas dapat kita sandingkan sebagai sebuah sembulan tampak dari realitas yang sesungguhnya.
Dengan demikian, identitas bukanlah sebuah bentukan kaku yang sudah jadi (ajeg), SEBALIKNYA, identitas adalah sebuah rekonstruksi realitas yang plural (Sen), strategis (Harari), berasal dari yang lain (Ricoeur, Candlish), dan mewakili namun tidak mendeskripsikan secara utuh (Tegmark).
Identitas sebagai “Realitas” yang Diciptakan oleh Bahasa
Bila: (1) apapun yang ada dalam realitas keseharian manusia adalah realitas yang dibentuk oleh bahasa; dan (2) identitas adalah sebuah rekonstruksi atas realitas dengan segala keterbatasannya;
Maka: identitas adalah realitas terbatas yang dibentuk oleh bahasa. Ini berarti bahwa hanya melalui bahasa seseorang dapat membentuk identitasnya.
Noam Chomsky dalam “Language and Freedom”, h.154: mempelajari bahasa adalah mempelajari bagaimana sistem-sistem yang ada dalam masyarakat (sebagai institusi sosial) bekerja. Tidak terkecuali pula identitas sebagai bagian dari mekanisme sosial dan politis: hanya dengan membahasakan identitas manusia bisa menjadi bagian dari interaksi semacam ini.
Alexander Miller dalam Philosophy of Language secara implisit membagi empat tahap perkembangan bahasa:
- Pra-Fregean: bahasa sebagai alat komunikasi
- Fregean: bahasa sebagai referensi
- Wittgensteinian: referensi dalam bahasa sebagai konstruksi strategis –”bermain”
- Pasca-Wittgensteinian: bahasa sebagai rekonstruksi realitas yang sifatnya artifisial/ buatan manusia
Kim Middleton dalam “Alternate Universes on Video: Ficvid and the Future of Narrative”, h.122: bahwa konstruksi narasi sekarang dan di masa yang akan datang bukan sekedar konstruksi estetis untuk tujuan hiburan –namun justru masuk ke wilayah kognisi. Artinya –gelagat kontemporer bicara soal cerita yang menjadi kenyataan; dalam titik ini: identitas –termasuk yang bersifat politis –adalah identitas yang dibentuk lewat cerita.
Artinya: Bahasa Indonesia adalah sebuah rekonstruksi akan sebuah gagasan tentang keindonesiaan, dan wujud paling nyata dari Indonesia sebagai sebuah “realitas” ADA di dalam bahasa Indonesia.
Kita TIDAK menggunakan Bahasa Indonesia untuk menyatakan keindonesiaan kita; ESENSI dari proses mengindonesia ada dalam Bahasa Indonesia.
“Ketepatan penggunaan kata adalah tanda penguasaan pengetahuan.”
Cerminan orang yang berpengetahuan dapat dilihat dari penggunaan bahasa yang mereka gunakan. Akan "ngawur" pemikiran seseorang apabila orang tersebut tidak bisa berbahasa dengan baik dan benar. |
Posting Komentar